Bagi masyarakatMelayu,khususnya Sambas dan Singkawang tentu tidak asing lagi dengan budaya SAPRAHAN atau MAKAN BESAPRAH, yaitu budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan atau bersila di atas lantai secara berkelompok yang tersiri dari 5 sampai 6 orang dalam satu kelompoknya.Tradisi makan saprahan memiliki makna duduk sama rendah berdiri sama tinggi ini, sangat kental dengan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial, duduk bersila sambil menikmati aneka rasa masakan yang tentunya disesuaikan dengan selera kemelayuan
Budaya saparahan ini masih banyak kita temui di daerah pinggiran terutama pada acara acara perkawinan tradisional. Para tamu undangan biasanya hadir dengan berbaju telok belanga' atau memakai jas dan sarung. Mereka duduk bersama sama undangan lain di tarup (tempat khusus undangan yang berbentuk bangunan memanjang) secara berhadapan memanjang mengikuti arah tarup..
Para pelayan yang membawa saprahan juga memakai pakaian khusus yang seragam. Mereka akan mengatur hidangan yang dibawa dengan urutan tertentu;pertama piring dan tempat cuci tangan, kedua nasi, ketiga lauk pauk dan terakhir air minum/makanan penutup. Dalam mengatur saparahan ini, tamu yang berada di ujung tarup (biasanya undangan khusus, atau mereka yang dihormati) akan diantar saprahan lebih dahulu, begitu seterusnya hingga tamu yang paling akhir. Setelah itu barulah pemimpin acara atau tuan rumah mempersilahkan para tamu untuk makan.Setelah acara makan saprahan selesai, biasanya pemimpin tarup (pak Lebai) akan membaca do'a salawat sebagai tanda bahwa undangan sudah boleh pulang.
Seiring dengan perkembangan Zaman, budaya makan saprahan ini mulai ditinggalkan karena dianggap terlalu ruwet dan tidak praktis, lantaran untuk acara saprahan tentu diperlukan banyak piring dan gelas,serta tenaga pelayan, sehingga orang sekarang lebih senang memakai cara prasmanan yang diangap lebih praktis.
SUmber gambar : koleksi pribadi
Lokasi : Sei Bulan Singkawang Utara
Budaya saparahan ini masih banyak kita temui di daerah pinggiran terutama pada acara acara perkawinan tradisional. Para tamu undangan biasanya hadir dengan berbaju telok belanga' atau memakai jas dan sarung. Mereka duduk bersama sama undangan lain di tarup (tempat khusus undangan yang berbentuk bangunan memanjang) secara berhadapan memanjang mengikuti arah tarup..
Para pelayan yang membawa saprahan juga memakai pakaian khusus yang seragam. Mereka akan mengatur hidangan yang dibawa dengan urutan tertentu;pertama piring dan tempat cuci tangan, kedua nasi, ketiga lauk pauk dan terakhir air minum/makanan penutup. Dalam mengatur saparahan ini, tamu yang berada di ujung tarup (biasanya undangan khusus, atau mereka yang dihormati) akan diantar saprahan lebih dahulu, begitu seterusnya hingga tamu yang paling akhir. Setelah itu barulah pemimpin acara atau tuan rumah mempersilahkan para tamu untuk makan.Setelah acara makan saprahan selesai, biasanya pemimpin tarup (pak Lebai) akan membaca do'a salawat sebagai tanda bahwa undangan sudah boleh pulang.
Seiring dengan perkembangan Zaman, budaya makan saprahan ini mulai ditinggalkan karena dianggap terlalu ruwet dan tidak praktis, lantaran untuk acara saprahan tentu diperlukan banyak piring dan gelas,serta tenaga pelayan, sehingga orang sekarang lebih senang memakai cara prasmanan yang diangap lebih praktis.
SUmber gambar : koleksi pribadi
Lokasi : Sei Bulan Singkawang Utara
mampir boss ...
BalasHapussilahkan...
BalasHapusSalox rasenye nak makan besaprah!
BalasHapus